Beranda | Artikel
Tarbiyah Ramadhan
Kamis, 23 Juni 2016

Ramadhan adalah sebuah sarana untuk mendidik jiwa manusia agar tunduk beribadah kepada Allah, bukan menghamba kepada hawa nafsu dan perasaannya. Allah berfirman (yang artinya), “Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; Siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Orang yang terbaik amalnya adalah yang mengikhlaskan amalnya untuk Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Amal yang salih adalah amalan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Muslim)

Puasa adalah salah satu amal salih yang paling utama. Karena puasa akan mengantarkan pelakunya menuju takwa. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 183)

Puasa Ramadhan merupakan salah satu kewajiban agung di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kamu mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah jika kamu telah mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (HR. Muslim)

Dengan melakukan puasa Ramadhan maka seorang muslim telah menunaikan sebuah kewajiban dan amalan yang sangat dicintai oleh Rabbnya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada mengerjakan apa-apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Puasa Ramadhan adalah sarana untuk meraih ampunan Allah dan pahala dari-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan puasa Ramadhan dalam keadaan beriman dan mengharapkan pahala maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Puasa menundukkan hati, pikiran, dan anggota badan kepada syari’at dan hukum Allah dalam rangka mengabdi kepada Rabb seru sekalian alam. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Puasa menggembleng jiwa untuk merendah diri dan tunduk serta mengagungkan Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Inilah hikmah paling agung dari penciptaan jin dan manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Puasa merupakan sarana untuk menempa kesabaran, memperkuat iman dan menumbuhkan amal-amal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)

Puasa Ramadhan mendidik jiwa untuk sabar dalam menjalankan ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar dalam menghadapi musibah dan takdir yang terasa pahit dan menyakitkan. Puasa Ramadhan melatih diri untuk sabar karena Allah, sabar di jalan Allah, dan sabar dengan senantiasa memohon pertolongan dan menyandarkan hati kepada Allah. Salah seorang ulama salaf mengatakan, bahwa sabar di dalam iman seperti kepala bagi anggota badan. Apabila kepala telah terputus maka jasad menjadi mati, demikian pula orang yang kehilangan kesabaran.

Ramadhan juga membina umat untuk taat kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki atau perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (al-Ahzab : 36)

Ramadhan menggembleng insan beriman untuk berjuang menundukkan hawa nafsu demi meraih keridhaan Allah dan kecintaan-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami telah beriman’ kemudian mereka tidak diberikan ujian/cobaan?” (al-‘Ankabut : 2)

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.”  

Amal adalah bagian dari iman dan unsur yang tidak bisa dipisahkan darinya. Iman tidak cukup hanya dengan keyakinan di dalam hati atau diucapkan dengan lisan. Sebagaimana tidak ada gunanya amalan apabila tidak dilandasi di atas tauhid dan keikhlasan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka kerjakan kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)

Amalan pun akan bertingkat-tingkat keutamaannya sesuai dengan kadar iman dan keikhlasan yang ada di dalam hati pelakunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu dinilai dengan niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang telah dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Abdullah ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan besar justru menjadi kecil juga karena niatnya.”

Ramadhan adalah sarana untuk menyuburkan ketaatan dan kebaikan-kebaikan. Karena dengan kebaikan-kebaikan itulah akan lenyap berbagai keburukan dan dosa. Dzikir, membaca al-Qur’an, sholat, sedekah, dan nasihat-nasihat adalah kebaikan yang akan mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan bagi hati serta menyejukkan nurani.

Salah seorang ulama mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Maka bagaimanakah keadaan seekor ikan apabila dia justru memisahkan dirinya dari air?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari)

Setiap bentuk ketaatan merupakan bagian dari dzikir kepada Allah. Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Dzikir adalah taat kepada Allah. Barangsiapa taat kepada-Nya maka sesungguhnya dia telah berdzikir kepada-Nya. Dan barangsiapa yang tidak menaati-Nya maka dia bukanlah orang yang ingat kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih, tahlil dan tilawah al-Qur’an.”

Terlebih lagi dengan membaca dan merenungi ayat-ayat al-Qur’an; maka hal ini akan memperkuat keimanan dan menunjukkan kepada jalan kebenaran. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah menjamin kepada orang yang membaca al-Qur’an dan mengamalkannya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak celaka di akhirat.”

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah maka takutlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah imannya, dan hanya kepada Rabbnya mereka itu bertawakal.” (al-Anfal : 2-3)

Dzikir yang paling utama adalah yang bersesuaian antara apa yang diucapkan dengan lisan dengan apa yang bersemayam di dalam hati. Oleh sebab itu dibutuhkan tadabbur alias merenungkan kandungan ayat-ayat al-Qur’an yang kita baca. Betapa banyak orang yang membaca al-Qur’an dan kalimat-kalimat dzikir tetapi mereka tidak meresapi dan memahami maknanya.

Ramadhan pun menjadi sarana untuk mengungkapkan syukur kepada Allah. Karena syukur memiliki tiga bagian; pengakuan di dalam hati bahwa nikmat berasal dari Allah, pujian dengan lisan kepada Allah atas nikmat-nikmat itu, dan menggunakan nikmat-nikmat itu dalam hal yang Allah cintai dan Allah ridhai. Oleh sebab itu bukanlah termasuk syukur apabila seorang justru memanfaatkan nikmat yang Allah berikan untuk berbuat dosa dan kemaksiatan.

Pokok syukur itu adalah dengan bertauhid alias memurnikan ibadah untuk Allah semata. Karena hanya Allah yang menciptakan dan memberikan rizki kepada kita maka hanya Allah pula yang semestinya kita ibadahi. Sebagaimana halnya kita berpuasa murni karena Allah, maka semestinya kita pun mendirikan sholat, membayar zakat dan melakukan amal salih pun ikhlas karena Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dan mendirikan sholat serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Ramadhan adalah madrasah keikhlasan. Bagaimana seorang muslim dibina untuk beramal karena Allah, beribadah karena Allah, dan bertaubat juga karena Allah. Sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits sahih tentang tujuh golongan manusia yang kelak akan diberi naungan oleh Allah pada hari kiamat, diantara mereka itu adalah, “Seorang lelaki yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian lalu berlinanglah air matanya.” dan juga “Seorang lelaki yang memberikan sedekah dengan sembunyi-sembunyi sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan perasaan cemas dan harapan. Cemas apabila kita melewati bulan ini dalam keadaan tidak mendapatkan ampunan. Cemas apabila amal-amal kita tidak diterima oleh Allah karena keteledoran dan kesalahan-kesalahan kita. Cemas apabila puasa kita rusak akibat perbuatan dan perkataan yang kotor dan sia-sia. Di samping itu kita juga berharap bahwa Allah berkenan menerima amal kita, berkenan mengampuni dosa kita, dan berkenan melipatgandakan pahala amal kita yang tidak seberapa. Kita selalu berharap bahwa Allah curahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kita hingga ajal tiba. Kita berharap bahwa kita termasuk orang-orang yang Allah bebaskan dari api neraka. Kita pun berharap bisa meraih keutamaan sebuah malam yang lebih baik daripada seribu bulan…

Ramadhan adalah bulan kecintaan. Dimana kecintaan kita kepada Allah lebih harus kita utamakan, kecintaan kepada ibadah dan iman harus lebih kita prioritaskan daripada seluruh kecintaan dan kesenangan. Dengan kecintaan itulah orang akan bisa merasakan manisnya iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai salah satu ciri orang yang bisa merasakan manisnya iman, “Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah -wahai Muhammad-; Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31). Salah seorang penyair mengatakan, “Setiap orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila, akan tetapi Laila tidak mengakui perkataan mereka.”

Ramadhan adalah bulan kepedulian; dimana kaum yang kaya akan menyantuni kaum yang miskin dan dhu’afa. Bulan dimana si kaya akan turut merasakan perihnya lapar dan dahaga. Bulan dimana sedekah dan infak tercurah bagi sesama. Karena itulah pada akhir bulan Ramadhan disyari’atkan zakat fitri untuk membersihkan jiwa orang yang berpuasa dan memberi makan orang-orang fakir dan miskin. Dari situlah akan tumbuh kedermawanan dan terkikis kebakhilan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dicintainya bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ramadhan adalah bulan penyucian jiwa. Karena pada bulan itu kita telah digembleng untuk mengekang hawa nafsu karena Allah dan meredam murka karena-Nya. Sesungguhnya nafsu itu senantiasa mengajak manusia kepada keburukan dan setan pun mengalir dalam tubuh manusia seperti aliran darah. Pada bulan Ramadhan setan-setan yang kuat telah dibelenggu dan pintu-pintu neraka ditutup. Dengan demikian hal itu akan lebih memudahkan manusia dalam menggapai kesucian jiwa dan kemuliaan pribadi dengan takwa.

Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah seraya mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah seraya takut akan hukuman Allah.”

Ketakwaan yang benar-benar berakar dari dalam hati, bukan sekedar ketakwaan anggota badan. Ketakwaan yang didasari tauhid dan keikhlasan. Ketakwaan yang dilandasi dengan iman dan tawakal kepada Allah semata. Ketakwaan seperti itulah yang akan mendatangkan jalan keluar bagi permasalahan, rizki yang tidak disangka-sangka, kemudahan dalam urusannya, dan penghapusan dosa-dosa. Bukan ketakwaan palsu yang hanya berhenti di lisan dan angan-angan.

Oleh sebab itu orang yang sedang berpuasa juga harus menahan diri dari ucapan dan perilaku kotor agar ibadah puasanya tidak sia-sia. Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak ada yang dia peroleh selain hanya lapar dan dahaga. Di sinilah letak pentingnya takwa. Menjaga lisan dan anggota badan dari hal-hal yang dimurkai Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati itu semuanya pasti akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Israa’ : 36)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk menyucikan jiwa. Doa itu berbunyi ‘Allahumma aati nafsii taqwaahaa, wa zakkihaa anta khairu man zakkaahaa. Anta waliyyuhaa wa maulaahaa’ artinya, “Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketakwaan, dan sucikanlah ia. Sesungguhnya Engkau adalah yang terbaik dalam menyucikannya. Engkaulah penguasa dan penolongnya.” (HR. Muslim)

Ramadhan adalah saatnya untuk menyadari kembali bahwa segala hal yang diharamkan harus kita tinggalkan. Sebagaimana kita rela meninggalkan makan dan minum karena Allah -padahal pada asalnya hal itu adalah mubah di luar waktu puasa- maka sudah semestinya kita lebih bisa meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah pada sepanjang umur dan kehidupan kita di alam dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi dengan hal-hal yang tidak disenangi oleh nafsu sedangkan neraka diliputi dengan hal-hal yang disenangi oleh hawa nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ramadhan adalah sarana untuk meninggalkan dosa-dosa besar dan membersihkan diri dari dosa-dosa kecil. Karena tauhid tidak akan terwujud pada seorang hamba kecuali dengan membersihkan dirinya dari syirik, bid’ah, dan maksiat. Dan seorang muslim tidak boleh meremehkan dosa sekecil apapun. Bagi seorang mukmin dosa laksana sebuah gunung yang dia khawatirkan akan runtuh menimpa dirinya. Adapun bagi orang yang kafir atau fajir maka dosa hanya seperti seekor lalat yang hinggap di depan hidungnya.

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dan merasa takut. Adapun orang kafir memadukan di dalam diriya antara perbuatan buruk/dosa dengan merasa aman/tidak bermasalah.”

Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara mereka semuanya merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa imannya sejajar dengan imannya Jibril dan Mika’il.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sholat lima waktu, sholat Jum’at yang satu menuju sholat Jum’at berikutnya, dan Ramadhan menuju Ramadhan sesudahnya adalah penebus bagi dosa-dosa selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim)

Ramadhan tentu akan sangat kita rindukan. Ramadhan yang penuh dengan berkah dan pelajaran. Ramadhan yang sarat dengan pahala dan keutamaan. Ramadhan ini hanya akan menjadi kesia-siaan jika kita tidak melandasinya dengan ilmu dan keikhlasan. Karena itulah Imam Bukhari rahimahullah membuat bab dalam Sahihnya dengan judul ‘Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan’. Karena amal tidak akan diterima kecuali apabila sesuai dengan sunnah dan ikhlas karena Allah. Sementara untuk mengikuti sunnah dan ikhlas harus dilandasi dengan ilmu.

Demikianlah sedikit faidah ringkas mengenai pelajaran-pelajaran berharga dari bulan Ramadhan yang mudah-mudahan bisa membina diri dan keluarga kita untuk menjaga diri dari panasnya api neraka dan untuk mengantarkan jiwa menuju indahnya surga. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/tarbiyah-ramadhan/